Selasa, 31 Desember 2013

cerpen: si Cerdik Milly



Si Cerdik Milly

Di sebuah desa di daerah atas bukit, tinggallah seorang wanita bernama Milly dengan suaminya yang bertubuh sangat besar dengan otot-otot yang kekar sekeras besi. Tak ada yang pernah tahu siapa nama suami Milly sebenarnya. Mereka biasanya menyebutnya si Simon.
Ada dua masalah yang dihadapi dalam rumah tangga mereka. Yang pertama, rumah mereka mengahadap utara, padahal angin selalu bertiup dengan pintu dan jendela dari arah tersebut, meski musim kemarau. Yang kedua, sumur mereka terletak jauh di bawah bukit sehingga Milly harus bersusah payah membawa embernya yang penuh air ke rumahnya.
Si Simon adalah seorang yang pemalas. Ia membiarkan istrinya mengerjakan semua tugas rumah sendirian, sementara dirinya sendiri terus menerus menyombongkan kekuatannya.
“Aku adalah orang terkuat di negeri ini,” begitu ia sesumbar. Kemudian ia membuktikannya dengan mengangkat sebuah batu yang sangat besar. “Kekuatanku dapat mengalahkan segalanya!”
“Kepandaiannya yang lebih penting,” potong Milly yang memang lebih cerdik daripada suaminya.
Si Simon hanya menertawakan ucapan istrinya. Tetapi keesokan harinya, Milly berkesempatan untuk membuktikan ucapannya. Siang itu Milly baru saja berbelanja dari kota.
“Apakah kau yakin bahwa kaulah yang terkuat di negeri ini?” tanya Milly pada suaminnya yang sedang asyik membaca Koran.
“Tentu saja!” jawab Simon spontan, “Memangnya kenapa?”
“Tadi di kota ada seorang pria yang mengaku dirinya yang paling terkuat di negeri ini,” jelas Milly.
Si Simon menghentikan bacaaanya dan segera tampak khawatir. “Apakah ia bertubuh lebih besar dariku, berjanggut tebal, dan berotot seperti semangka?” tanyanya.
Milly berpikir sejenak, berusaha mengingat-ingat, “Ya, benar! Ia menamakan dirinya… ehm…”
“Boris?” ujar si Simon dengan mata lebar melotot.
“Ya, benar! Kau menngenalnya?”
Si Simon membisu sejenak. “Sebenarnya aku telah berbohong selama ini. Aku bukan yang terkuat di negeri ini. Cuma, selama ini Boris berada jauh di selatan. Aku tak menyangka ia akan muncul kini.”
Simon mulai berpikir. “Mungkin Boris hanya sehari di sini. Ya, mudah-mudahan ia segera kembali ke selatan. Mungkin ia sedang dalam perjalanan pulang sekarang,” lanjutnya lagi.
“Kurasa tidak,” ujar Milly seraya melongok ke arah jendela “Ia sedang menuju ke desa kita. Lihatlah, ia sedang menyusuri lembah.”
Si Simon kebingungan. Mukanya pucat, ia terus berputar khawatir di ruangan. “Ia akan memukulku! Ia akan meninjuku! Ia akan… ah, apa yang dapat kulakukan?” keluhnya kalut. “Milly, dapatkah kau menolongku mencarikan jalan keluarnya?”
“Apa balasannya kalau aku menolongmu?” tanya Milly.
“Apa saja! Aku akan melakukan apa saja!” janji Simon cepat.
“Baiklah!” jawab Milly seraya menyuruh Simon mengikutinya menuju ke ranjang bayi berukuran lumayan besar di sudut ruangan. “Berbaringlah di sini. Jangan ucapkan sepatah kata pun dan peganglah ini!” perintah Milly sambikl memberikan sebongkah batu.
Sepuluh menit berlalu. Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu. Ketukan itu demikian kerasnya sehingga jendela pun bergetar. Milly membukakan pintu, dan nampaklah si Boris. “Di mana si Simon?” tanyanya.
“Ia tak ada di rumah. Ia sedang ke selatan. Katanya ia hendak mencari seseorang bernama Boris di sana. Lalu dia bilang, ia akan memukul dan mennghantamnya sampai remuk!”
“Apa? Berani benar ia berkata demikian!” ujar Boris berang. “Sayalah Boris!”
“Oh, ya?” Tanya Milly sambil tersenyum mengejek seolah tak percaya. Ditatapnya Boris dari atas ke bawah.
“Apanya yang lucu? Mengapa kau tertawa?”
“Menurut Simon, Boris bertubuh besar dan kekar,” ujar Milly.
Boris semakin geram. “Memang tubuhku besar dan kekar! Tubuhku lebih besar dan kekar darinya!”
“Kalau begitu, kau pun bisa melakukan apa yang bisa dilakukannya!”
“Bahkan lebih dari itu! Aku bisa melakukan apa yang tidak  bisa dilakukannya!” jawab Boris gerah.
Milly tak habis pikir kenapa kaum pria senang menyombongkan diri betapa hebatnya mereka.
“Setiap hari si Simon selalu memutar rumah ini ke arah selatan,” ujarnya kemudian, “Dengan demikian ia bisa membiarkan matahari menyinari rumah.”
Pekerjaan anak kecil, sombong Boris. Kemudian ia mendorong rumah itu. Dengan dorongannya yang kuat, rumah pun berputar dan kini menghadap ke arah selatan. Milly menatap sinar matahari yang menerangi rumahnya dan tersenyum puas.
“Nah, sekarang apa lagi yang dapat ku lakukan?” tantang Boris setelah selesai melakukan tantangannya yang pertama.
“si Simon dapat melempar sebatang kayu yang besar ke atas bukit hanya dengan satu kali lemparan!” ujar si cerdik Milly.
“Pekerjaan bayi!” sombong Boris lagi. Kemudian diambilnya sebatang kayu yang besar. Diangkatnya kayu itu ke atas kepalanya, kemudian dengan satu lemparan keras kayu itu terbenam dalam bukit. “Lihatlah!” serunya bangga.
Milly kembali tersenyum puas, memandang lubang yang terbentuk. Hening sejenak. Kemudian “Keracak!” terdengar muncratan air. Sekarang ia mempunyai sumur di atas bukit. Sehingga tidak perlu lagi bersusah payah mengambil air ke sumur yang berada di bawah bukit.
“Sebaiknya sekarang kau segera ke selatan menyusul si Simon,” saran Milly.
Boris lumayan letih meski ia tidak berterus terang. “Lebih baik aku makan beberapa potong roti sebelum berangkat,” ujarnya seraya membuka pintu dan masuk ke dalam rumah Milly. Dilihatnya si Simon dalam ranjang bayi.
“Aha, di sini rupanya kau Simon?” ujarnya berbinar seraya menghampiri ranjang itu. Simon gemetar ketakutan. Tangannya berguncang sedemikian kerasnya sehingga batu pemberian Milly yang sedari tadi digenggamnya pecah berkeping-keping.
Tepat ketika Boris hampir menyentuh ranjang Simon, Milly berteriak, “Hati-hati Boris! Itu bayi Simon. Kalau kau berani melukainya, si Simon pasti akan marah besar!”
Boris berhenti. “Bayi Simon?” batinnya sambil memandang tubuh besar yang berbaring dalam ranjang bayi itu. Kemudian ditatapnya kepingan batu yang hancur. Tiba-tiba Boris merasa dirinya begitu lemah. Ia merasa tubuhnya lemas karena takut. Buru-buru ia berlari menuju pintu, menuruni bukit, dan tak pernah menampakkan dirinya lagi.
Si Simon segera bangun menghampiri istrinya. “Kau benar, istriku! Kepandaianlah yang akan melakukan semua tugas rumah!”
“Tidak perlu begitu,” ujar Milly, “Kita akan membagi tugas itu untuk dikerjakan bersama. Dan… yang penting… berhentilah menyombongkan diri!” lanjut Milly. Biar bagaimana pun ia merasa senang karena suaminya akhirnya menyadari kekeliruannya.
Si Simon tersipu malu seraya mengangguk menyetujui permintaan istrinya. Sejak saat itu, keduanya hidup bahagia sampai tua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar