Rabu, 18 Desember 2013

Cerpen: Anak Tukang Kue



Anak Tukang Kue

Galang hanya diam saja dari tadi. Anak itu bahkan pura-pura asik membaca buku. Tetapi, sebenarnya kebua telinganya terpasangdan dengan cermat menyimak obrolan Lulu, Lisa, dan Doni, teman-temannya yang tak jauh berdiri dari kursinya.
“Ah, kenapa aku hanya seorang anak tukang kue,” keluh Galang diam-diam. Seandainya saja ayah Galang bekerja sebagai pegawai kantor seperti ayah Lulu, atau pemilik toko seperti ayah Lisa, atau ayah Doni yang menjadi pilot. Dengar saja cerita-cerita Lulu, Lisa, dan Doni. Wah, pokoknya kehidupan mereka enak sekali. Lain dengan Galang yang orang tuanya selalu berkutat di dapur. Memang sesekali ayah Galang berdagang macam-macam dagangan. Tetapi lebih sering menjual kue-kue bikinan Ibu ke tetangga-tetangga dan kenalan-kenalan mereka.
“Iih.. Galang sok rajin, ah! Dari tadi baca buku terus…,” goda Lisa. Galang terkejut. Lisa hanya nyengir melihat Galang memberengut.
“Dia kan memang anak rajin. Jangan diganggu, deh,” lerai Doni.
“Suka-suka aku, dong…,”sahut Galang. Ah, seandainya Galang sanggup bercerita yang bagus-bagus seperti mereka, mau rasanya Galang meninggalkan buku-bukunya dan bergabung dengan teman-temannya yang rata-rata anak orang kaya itu. Tetapi…
“Yuk ah, kita jajan! Perutku sudah lapar nih…,” kata Lulu. Galang hanya memandangi punggung ketiga temannya itu ketika mereka keluar kelas. Ada rasa lega menyelinap di dadanya. Sekarang Galang tidak merasa terganggu lagi dengan percakapan mereka yang selalu membuat Galang iri.
Galang sendirian di dalam kelas. Perutnya memang selalu kenyang oleh sarapan lezat yang selalu dibuat ibunya. Galang juga suka membawa kue buatan ibunya dan kue itu dimakannya saat istirahat di dalam kelas. Sementara teman-temannya berebut membeli makanan di kantin sekolah.
Seperti biasa, setiap hari rumah Galang selalu dipenuhi dengan aroma kue. Ayah dan ibu Galang bekerja di dapur. Sebenarnya Galang suka kasihan melihat mereka begitu sibuk setiap hari. Tetapi entah kenapa, hari itu justru Galang amat kesal melihat mereka sibuk. Seandainya ayah Galang seorang pilot atau pegawai kantor atau pemilik toko, tentu saat itu ayah Galang tidak berada di rumah. Ibu juga tidak usah terlalu repot-repot membuat kue. Jadi ibu bisa menemani Galang ngobrol atau jalan-jalan ke pasar swalayan. Ah… angan-angan itu justru membuat Galang bertambah gusar.
“Galang, Ayah mau menjual kue-kue ini. Dan Ibu akan pergi ke pasar membeli bahan-bahan untuk membuat kue. Kau jaga rumah, ya! Jangan ke mana-mana,” kata Ayah. Seperti biasa, Galang hanya sanggup mengangguk dengan perasaan dongkol. Beginilah nasib anak tukang kue. Selalu ditinggal-tinggal sendiri di rumah.
“Galang keberatan? Atau mau ikut Ibu ke pasar?” tanya Ibu, seakan dapat membaca pikiran Galang.
“Galang di rumah saja, Bu,” sahut Galang. Ikut Ibu ke pasar? Uuuh.. membosankan sekali. Bayangkan demi perbedaan harga lima ratus rupiah saja, Ibu rela berkeliling-keliling pasar. Kaki bisa capek. Galang sudah kapok berbelanja bersama Ibu.
Ternyata Ayah pulang lebih cepat dari yang diperkirakan Galang.
“Laku, Yah, kue-kuenya?” tanya Galang heran. Ayah Galang meletakkan sepedanya di teras rumah.
“Tentu saja laku. Kalau belum laku Ayah tentu masih berkeliling sampai sore,” sahut Ayah.
Ada rasa haru menyelinap perlahan di hati Galang. Ayah memang ulet sebagai penjual kue. Tetapi… kenapa Ayah tidak menjadi pegawai kantor saja? Ag, lagi-lagi Galang menyesali keadaan orang tuanya.
“Tadi Ayah menjual kue sampai ke rumah Wayan, kawanmu satu kelas. Ibunya memborong kue-kue yang Ayah bawa,” ujar Ayah.
“Ayah menjual kue ke sana?” Galang terbeliak kaget.
“Ya, tapi jangan khawatir, Ayah telah berpesan pada temanmu itu agar tidak mengolok-olokmu di sekolah,” kata Ayah dengan tenang. Tetapi Galang justru semakin gelisah. Bocorlah sudah rahasiaku sebagai anak tukang kue, batin Galang dengan perasaan sebal. Entah apa yang akan terjadi besok di sekolah. Sulit sekali Galang membayangkannya.
Besoknya Galang sengaja menghindari tatapan Wayan. Perasaan malu sebagai anak tukang kue terus menderanya. Waktu Wayan masih berada di dalam kelas saat istirahat tiba, Galang diam-diam pergi ke kantin. Meski kue yang dijual di kantin tidak seenak kue buatan Ibunya, Galang habis juga melahapnya.
“Lho… kok tumben makan di kantin?” tanya Lulu.
“Bosan ‘kali makan kue-kue buatan ibunya sendiri,” timpal Ana.
Jantung Galang semakin berdegup kencang. Ternyata Wayan ada di antara teman-temannya itu. Tentu dialah yang telah menyebarkan berita bahwa Galang ternyata seorang anak tukang kue.
“Galang, mamaku pesan lagi kue yang kemarin dijual ayahmu. Dua puluh buah, ya,” kata Wayan. “Habis enak, sih… murah lagi.”
“Besok bawa dong kue-kue buatan ibumu ke sekolah, Lang. kami mau membelinya,” kata Lisa.
“Iya, Lang. masa diam-diam saja. Aku itu paling senang lho makan kue-kue enak,” tambah Doni. Teman-teman Galang dan Galang sendiri tertawa mendengar ucapan Doni. Galang mengangguk senang.
 Ah, ternyata menjadi anak seorang tukang kue juga bisa sebahagia mereka yang ayahnya pegawai kantor, pemilik toko, ataupun pilot. Ya, ya, semua pekerjaan sama baiknya sepanjang pekerjaan itu halal. Kenapa harus menyesal dan malu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar