Anak Tukang Kue
Galang hanya diam saja dari tadi.
Anak itu bahkan pura-pura asik membaca buku. Tetapi, sebenarnya kebua
telinganya terpasangdan dengan cermat menyimak obrolan Lulu, Lisa, dan Doni,
teman-temannya yang tak jauh berdiri dari kursinya.
“Ah, kenapa aku hanya seorang anak
tukang kue,” keluh Galang diam-diam. Seandainya saja ayah Galang bekerja
sebagai pegawai kantor seperti ayah Lulu, atau pemilik toko seperti ayah Lisa,
atau ayah Doni yang menjadi pilot. Dengar saja cerita-cerita Lulu, Lisa, dan
Doni. Wah, pokoknya kehidupan mereka enak sekali. Lain dengan Galang yang orang
tuanya selalu berkutat di dapur. Memang sesekali ayah Galang berdagang
macam-macam dagangan. Tetapi lebih sering menjual kue-kue bikinan Ibu ke
tetangga-tetangga dan kenalan-kenalan mereka.
“Iih.. Galang sok rajin, ah! Dari
tadi baca buku terus…,” goda Lisa. Galang terkejut. Lisa hanya nyengir melihat
Galang memberengut.
“Dia kan memang anak rajin. Jangan
diganggu, deh,” lerai Doni.
“Suka-suka aku, dong…,”sahut Galang.
Ah, seandainya Galang sanggup bercerita yang bagus-bagus seperti mereka, mau
rasanya Galang meninggalkan buku-bukunya dan bergabung dengan teman-temannya
yang rata-rata anak orang kaya itu. Tetapi…
“Yuk ah, kita jajan! Perutku sudah
lapar nih…,” kata Lulu. Galang hanya memandangi punggung ketiga temannya itu
ketika mereka keluar kelas. Ada rasa lega menyelinap di dadanya. Sekarang
Galang tidak merasa terganggu lagi dengan percakapan mereka yang selalu membuat
Galang iri.
Galang sendirian di dalam kelas.
Perutnya memang selalu kenyang oleh sarapan lezat yang selalu dibuat ibunya.
Galang juga suka membawa kue buatan ibunya dan kue itu dimakannya saat
istirahat di dalam kelas. Sementara teman-temannya berebut membeli makanan di
kantin sekolah.
Seperti biasa, setiap hari rumah
Galang selalu dipenuhi dengan aroma kue. Ayah dan ibu Galang bekerja di dapur.
Sebenarnya Galang suka kasihan melihat mereka begitu sibuk setiap hari. Tetapi
entah kenapa, hari itu justru Galang amat kesal melihat mereka sibuk.
Seandainya ayah Galang seorang pilot atau pegawai kantor atau pemilik toko,
tentu saat itu ayah Galang tidak berada di rumah. Ibu juga tidak usah terlalu
repot-repot membuat kue. Jadi ibu bisa menemani Galang ngobrol atau jalan-jalan
ke pasar swalayan. Ah… angan-angan itu justru membuat Galang bertambah gusar.
“Galang, Ayah mau menjual kue-kue
ini. Dan Ibu akan pergi ke pasar membeli bahan-bahan untuk membuat kue. Kau
jaga rumah, ya! Jangan ke mana-mana,” kata Ayah. Seperti biasa, Galang hanya
sanggup mengangguk dengan perasaan dongkol. Beginilah nasib anak tukang kue.
Selalu ditinggal-tinggal sendiri di rumah.
“Galang keberatan? Atau mau ikut Ibu
ke pasar?” tanya Ibu, seakan dapat membaca pikiran Galang.
“Galang di rumah saja, Bu,” sahut
Galang. Ikut Ibu ke pasar? Uuuh.. membosankan sekali. Bayangkan demi perbedaan
harga lima ratus rupiah saja, Ibu rela berkeliling-keliling pasar. Kaki bisa
capek. Galang sudah kapok berbelanja bersama Ibu.
Ternyata Ayah pulang lebih cepat dari
yang diperkirakan Galang.
“Laku, Yah, kue-kuenya?” tanya Galang
heran. Ayah Galang meletakkan sepedanya di teras rumah.
“Tentu saja laku. Kalau belum laku
Ayah tentu masih berkeliling sampai sore,” sahut Ayah.
Ada rasa haru menyelinap perlahan di
hati Galang. Ayah memang ulet sebagai penjual kue. Tetapi… kenapa Ayah tidak
menjadi pegawai kantor saja? Ag, lagi-lagi Galang menyesali keadaan orang
tuanya.
“Tadi Ayah menjual kue sampai ke
rumah Wayan, kawanmu satu kelas. Ibunya memborong kue-kue yang Ayah bawa,” ujar
Ayah.
“Ayah menjual kue ke sana?” Galang terbeliak
kaget.
“Ya, tapi jangan khawatir, Ayah telah
berpesan pada temanmu itu agar tidak mengolok-olokmu di sekolah,” kata Ayah
dengan tenang. Tetapi Galang justru semakin gelisah. Bocorlah sudah rahasiaku
sebagai anak tukang kue, batin Galang dengan perasaan sebal. Entah apa yang
akan terjadi besok di sekolah. Sulit sekali Galang membayangkannya.
Besoknya Galang sengaja menghindari
tatapan Wayan. Perasaan malu sebagai anak tukang kue terus menderanya. Waktu
Wayan masih berada di dalam kelas saat istirahat tiba, Galang diam-diam pergi
ke kantin. Meski kue yang dijual di kantin tidak seenak kue buatan Ibunya,
Galang habis juga melahapnya.
“Lho… kok tumben makan di kantin?”
tanya Lulu.
“Bosan ‘kali makan kue-kue buatan
ibunya sendiri,” timpal Ana.
Jantung Galang semakin berdegup
kencang. Ternyata Wayan ada di antara teman-temannya itu. Tentu dialah yang
telah menyebarkan berita bahwa Galang ternyata seorang anak tukang kue.
“Galang, mamaku pesan lagi kue yang
kemarin dijual ayahmu. Dua puluh buah, ya,” kata Wayan. “Habis enak, sih… murah
lagi.”
“Besok bawa dong kue-kue buatan ibumu
ke sekolah, Lang. kami mau membelinya,” kata Lisa.
“Iya, Lang. masa diam-diam saja. Aku
itu paling senang lho makan kue-kue enak,” tambah Doni. Teman-teman Galang dan
Galang sendiri tertawa mendengar ucapan Doni. Galang mengangguk senang.
Ah, ternyata menjadi anak seorang tukang kue
juga bisa sebahagia mereka yang ayahnya pegawai kantor, pemilik toko, ataupun
pilot. Ya, ya, semua pekerjaan sama baiknya sepanjang pekerjaan itu halal.
Kenapa harus menyesal dan malu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar