Selasa, 31 Desember 2013

cerpen: Buah Tangan Untuk Ayah



Buah Tangan untuk Ayah

Anis menyibakkan tirai jendela bus yang mengganggu pandangannya ke luar. Pemandangan kota Malang. Kota yang sejuk, pikirnya. Tidak kalah sejuknya dengan berada di dalam perut bus ber-AC yang membawanya.
Tiga hari yang lalu ketika ia berangkat ke Malang dari Yogyakarta, pemandangan yang indah itu tidak bias dinikmatinya. Ya, karena malam menyelimutinya. Sesekali dia melihat gemerlap lampu yang bagaikan ribuan kunang-kunang di malam hari. Selebihnya hanya pohon-pohon dan rumah-rumah yang Nampak berwarna hitam. Tak ada warna bunga di pinggir jalan yang bisa di nikmatinya.
“Dingin, Nis?” tanya Bu Titi yang duduk di sampingnya, begitu melihat muridnya merapatkan sweaternya
“Sedikit, Bu,”jawanbnya sambil tersenyum.
“Apa AC-nya perlu Ibu matikan?” tanyanya lagi dengan lembut.
“Tidak usah, Bu. Lebih enak begini.”
Bu Titi mengusap kepala murid kesayangannya. Ujarnya, “Ibu bangga sekali padamu, Nis. Keberhasilanmu menjadi siswa teladan nasional sungguh mengagumkan. Bukan saja daerahmu yang turut bangga, tapi Indonesia juga akan turut berbangga. Sebab punya anak negeri yang pintar, berbakti, dan santun seperti kamu.”
Anis tersenyum malu-malu sambil memandang sekilas piala itu. Dia juga menerima piagam dan uang yang kini tersimpan di tasnya.
“Hadiah ini belum sebanding dengan penghargaan yang akan kamu terima besok setelah kamu tiba di Yogya. Pemerintah berkenan memberi beasiswa kepadamu sampai kamu jadi sarjana nanti.”
Anis terkejut. Sorot matanya memandang gurunya dengan tanda tanya.
“Kamu tidak percaya, Nis?”
“Waktu berangkat kemarin, Ibu tidak pernah mengatakannya.”
“Ibu tidak ingin mengganggu konsentrasimu.”
“Benarkah, Bu?” desaknya masih tidak percaya.
Bu Titi mengangguk sambil mengangkat tangan kanannya dan membentuk huruf v.
Mata Anis berbinar-binar. Kesejukan berada di dalam bus ber-AC itu seolah terkalahkan oleh kesejukan yang kini menjalar di hatinya. Belum pernah ia rasanya memperoleh kebahagiaan beruntun seperti itu. Seakan-akan dia sedang bermimpi.
“O, ya. Kamu beli oleh-oleh apa, Nis?”
Anis terkejut mendengar pertanyaan gurunya. Perasaannya yang seolah-olah tengah berada di awing-awang segera buyar.
“Kamu tidak lupa beli apel Malang, kan?”
Anis hanya mengangguk pelan. Setelah dilihatnya Bu Titi tidak memperhatikannya lagi, Anis segera membuang pandangannya ke luar. Dari atas busnya yang berlari agak kencang, Anis memandang pohon-pohon yang Nampak seperti berkejar-kejaran.
Tiba-tiba matanya yang bulat dan bening berkaca-kaca. Pertanyaan Bu Titi yang di dengarnya baru saja mengingatkan peristiwa yang nyaris sama, yang dialaminya setahun yang lalu. Ya, ketika dia pergi liburan ke Malang pertama kali.
“Mana oleh-oleh buat Ayah?” Tanya ayahnya ketika dia tiba dari Malang.
Anis segera membuka tasnya yang cukup berat karena berisi beberapa kilo buah apel. Ketiga adiknya segera menyerbunya. Ibu dan ayahnya tersenyum menyaksikan keceriaan anak-anaknya.
Anis baru tersadar ketika ayahnya tak juga menyentuh buah apel itu sampai keesokan harinya. Ya, dia baru sadar kalau ayahnya tidak suka buah apel. Ayahnya lebih suka buah jeruk. Padahal di Malang banyak sekali dijual jeruk manis, tapi tidak membeli sebuah pun.
Anis merasa kecewa sekali tidak bias membelikan oleh-oleh yang menyenangkan untuk ayahnya. Namun begitu, dia tidak menampakkan kekecewaannya di depan ayahnya. Seperti juga ayahnyatak pernah menampakkan kekecewaannya di depan putri satu-satunya di antara keempat anaknya itu. Anis hanya berjanji suatu hari nanti jika dia pergi ke Malang lagi, dia tidak akan lupa membelikan buah jeruk untuk ayahnya tercinta.
Tetapi keinginan Anis ternyata tidak akan pernah terwujud. Delapan bulan setelah Anis pulang dari Malang, ayahnya meninggal dunia karena kanker paru-paru. Keinginannya untuk membelikan buah jeruk untuk ayahnya selelu mengganggu pikirannya. Padahal dia ingin sekali ayahnya bangga kepadanya karena tahu putrinya sangat mencintainya.
Kepergian ayahnya membuat ibunya harus bekerja keras. Untunglah ibunya pandai memasak, sehingga bias bejualan kue-kue. Anis setiap hari membawanya dan menitipkannya ke warung dekat sekolahnya.
“Belajar yang rajin ya, Nak,”  pesan ayahnya yang terakhir sebelum meninggal.
Saat itu Anis tidak mampu berkata apa-apa karena tidak mengira ayahnya akan begitu cepat meninggalkannya. Dia hanya dapat berjanji untuk dapat memenuhi pesan terakhir ayahnya.
Setiap hari setelah selesai membantu ibunya, Anis belajar di rumah teman-temannya. Teman-temannya sangat senang kepada Anis karena Anis sering membantu belajar teman-temannya. Anis pun senang belajar bersama karena dia dapat meminjam buku-buku yang tidak mampu dibelinya. Tanpa disadarinya, dengan semakin sering membantu temannya belajar, Anis justru semakin hafal dengan apa yang pernah diajarkannya. Tak mengherankan kalau kemudian dia selalu menjadi bintang kelas dan sering menjadi wakil sekolahnya dalam beraneka lomba.
Anis tersadar dari lamunan panjangnya ketika bus yang ditumpanginya terguncang.
“Kita sudah sampai di Solo, Nis. Asyik sekali kamu melamun dan menikmati pemandangan di luar,” ujar Bu Titi yang baru saja terbangun Karena guncangan bus tadi.
Anis tersenyum memandang mata gurunya yang memerah karena mengantuk.
“Ibu tidur sebentar lagi, ya!”
Anis mengangguk. Setelah dilihatnya Bu Titi tertidur, gadis berambut panjang sepinggang itu memandang kembali ke luar jendela. Dilihatnya langit berwarna keemasan menyambut senja. Warna jingga memantul di mana-mana. Indah sekali.
Anis memandang warna matahari di ufuk barat.
“Tuhan, tolong sampaikan kepada Ayah, Anis sangat menyayanginya. Anis bawakan buah tangan yang lain untuk ayah. Anis akan senantiasa berusaha memnuhi pesan Ayah,” bisik Anis nyaris tak terdengar.
Didekapnya piala buah prestasinya erat-erat. Dua butir air mata bergulir di pipinya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar