Buah
Tangan untuk Ayah
Anis menyibakkan tirai jendela bus
yang mengganggu pandangannya ke luar. Pemandangan kota Malang. Kota yang sejuk,
pikirnya. Tidak kalah sejuknya dengan berada di dalam perut bus ber-AC yang
membawanya.
Tiga hari yang lalu ketika ia
berangkat ke Malang dari Yogyakarta, pemandangan yang indah itu tidak bias
dinikmatinya. Ya, karena malam menyelimutinya. Sesekali dia melihat gemerlap
lampu yang bagaikan ribuan kunang-kunang di malam hari. Selebihnya hanya
pohon-pohon dan rumah-rumah yang Nampak berwarna hitam. Tak ada warna bunga di
pinggir jalan yang bisa di nikmatinya.
“Dingin, Nis?” tanya Bu Titi yang
duduk di sampingnya, begitu melihat muridnya merapatkan sweaternya
“Sedikit, Bu,”jawanbnya sambil
tersenyum.
“Apa AC-nya perlu Ibu matikan?”
tanyanya lagi dengan lembut.
“Tidak usah, Bu. Lebih enak begini.”
Bu Titi mengusap kepala murid
kesayangannya. Ujarnya, “Ibu bangga sekali padamu, Nis. Keberhasilanmu menjadi
siswa teladan nasional sungguh mengagumkan. Bukan saja daerahmu yang turut
bangga, tapi Indonesia juga akan turut berbangga. Sebab punya anak negeri yang
pintar, berbakti, dan santun seperti kamu.”
Anis tersenyum malu-malu sambil
memandang sekilas piala itu. Dia juga menerima piagam dan uang yang kini
tersimpan di tasnya.
“Hadiah ini belum sebanding dengan
penghargaan yang akan kamu terima besok setelah kamu tiba di Yogya. Pemerintah
berkenan memberi beasiswa kepadamu sampai kamu jadi sarjana nanti.”
Anis terkejut. Sorot matanya
memandang gurunya dengan tanda tanya.
“Kamu tidak percaya, Nis?”
“Waktu berangkat kemarin, Ibu tidak
pernah mengatakannya.”
“Ibu tidak ingin mengganggu
konsentrasimu.”
“Benarkah, Bu?” desaknya masih tidak
percaya.
Bu Titi mengangguk sambil mengangkat
tangan kanannya dan membentuk huruf v.
Mata Anis berbinar-binar. Kesejukan
berada di dalam bus ber-AC itu seolah terkalahkan oleh kesejukan yang kini
menjalar di hatinya. Belum pernah ia rasanya memperoleh kebahagiaan beruntun
seperti itu. Seakan-akan dia sedang bermimpi.
“O, ya. Kamu beli oleh-oleh apa, Nis?”
Anis terkejut mendengar pertanyaan
gurunya. Perasaannya yang seolah-olah tengah berada di awing-awang segera
buyar.
“Kamu tidak lupa beli apel Malang,
kan?”
Anis hanya mengangguk pelan. Setelah
dilihatnya Bu Titi tidak memperhatikannya lagi, Anis segera membuang
pandangannya ke luar. Dari atas busnya yang berlari agak kencang, Anis
memandang pohon-pohon yang Nampak seperti berkejar-kejaran.
Tiba-tiba matanya yang bulat dan
bening berkaca-kaca. Pertanyaan Bu Titi yang di dengarnya baru saja
mengingatkan peristiwa yang nyaris sama, yang dialaminya setahun yang lalu. Ya,
ketika dia pergi liburan ke Malang pertama kali.
“Mana oleh-oleh buat Ayah?” Tanya
ayahnya ketika dia tiba dari Malang.
Anis segera membuka tasnya yang cukup
berat karena berisi beberapa kilo buah apel. Ketiga adiknya segera menyerbunya.
Ibu dan ayahnya tersenyum menyaksikan keceriaan anak-anaknya.
Anis baru tersadar ketika ayahnya tak
juga menyentuh buah apel itu sampai keesokan harinya. Ya, dia baru sadar kalau
ayahnya tidak suka buah apel. Ayahnya lebih suka buah jeruk. Padahal di Malang
banyak sekali dijual jeruk manis, tapi tidak membeli sebuah pun.
Anis merasa kecewa sekali tidak bias
membelikan oleh-oleh yang menyenangkan untuk ayahnya. Namun begitu, dia tidak
menampakkan kekecewaannya di depan ayahnya. Seperti juga ayahnyatak pernah
menampakkan kekecewaannya di depan putri satu-satunya di antara keempat anaknya
itu. Anis hanya berjanji suatu hari nanti jika dia pergi ke Malang lagi, dia
tidak akan lupa membelikan buah jeruk untuk ayahnya tercinta.
Tetapi keinginan Anis ternyata tidak
akan pernah terwujud. Delapan bulan setelah Anis pulang dari Malang, ayahnya
meninggal dunia karena kanker paru-paru. Keinginannya untuk membelikan buah
jeruk untuk ayahnya selelu mengganggu pikirannya. Padahal dia ingin sekali
ayahnya bangga kepadanya karena tahu putrinya sangat mencintainya.
Kepergian ayahnya membuat ibunya
harus bekerja keras. Untunglah ibunya pandai memasak, sehingga bias bejualan
kue-kue. Anis setiap hari membawanya dan menitipkannya ke warung dekat
sekolahnya.
“Belajar yang rajin ya, Nak,” pesan ayahnya yang terakhir sebelum
meninggal.
Saat itu Anis tidak mampu berkata
apa-apa karena tidak mengira ayahnya akan begitu cepat meninggalkannya. Dia
hanya dapat berjanji untuk dapat memenuhi pesan terakhir ayahnya.
Setiap hari setelah selesai membantu
ibunya, Anis belajar di rumah teman-temannya. Teman-temannya sangat senang
kepada Anis karena Anis sering membantu belajar teman-temannya. Anis pun senang
belajar bersama karena dia dapat meminjam buku-buku yang tidak mampu dibelinya.
Tanpa disadarinya, dengan semakin sering membantu temannya belajar, Anis justru
semakin hafal dengan apa yang pernah diajarkannya. Tak mengherankan kalau
kemudian dia selalu menjadi bintang kelas dan sering menjadi wakil sekolahnya
dalam beraneka lomba.
Anis tersadar dari lamunan panjangnya
ketika bus yang ditumpanginya terguncang.
“Kita sudah sampai di Solo, Nis.
Asyik sekali kamu melamun dan menikmati pemandangan di luar,” ujar Bu Titi yang
baru saja terbangun Karena guncangan bus tadi.
Anis tersenyum memandang mata gurunya
yang memerah karena mengantuk.
“Ibu tidur sebentar lagi, ya!”
Anis mengangguk. Setelah dilihatnya
Bu Titi tertidur, gadis berambut panjang sepinggang itu memandang kembali ke
luar jendela. Dilihatnya langit berwarna keemasan menyambut senja. Warna jingga
memantul di mana-mana. Indah sekali.
Anis memandang warna matahari di ufuk
barat.
“Tuhan, tolong sampaikan kepada Ayah,
Anis sangat menyayanginya. Anis bawakan buah tangan yang lain untuk ayah. Anis
akan senantiasa berusaha memnuhi pesan Ayah,” bisik Anis nyaris tak terdengar.
Didekapnya piala buah prestasinya
erat-erat. Dua butir air mata bergulir di pipinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar